Maaf...

Empat huruf dalam satu kata ini memang kadang susah kadang gampang terucap. Di bis penuh sesak ketika tangan jahil seorang mas-mas pura-pura nggak sengaja menjawil dada atau pantat mbak-mbak; copet di KRL superpenuh yang menginjak kaki korbannya sebagai pengalih perhatian dari lolosnya dompet yang berpindah tangan; tumpahnya minuman pada sebuah kafe karena sang waiter melamunkan betapa halus daging telanjang kastemer MILF di seberang meja; dan lain-lain, dan sebagainya.

Saya terbiasa berucap 'sorry'--tanpa maksud--jika tas selempang yang saya kenakan mengenai wajah sebal ibu-ibu kinclong yang duduk di kursi Metro Mini karena saya mengganggu kenikmatannya ngantuk tekluk-tekluk sementara penumpang berdiri rapat berdesakan. Atau telat membalas SMS karena saya dan ponsel tidak selalu beriringan. 'Maaf' dan 'sorry' beda kasta buat saya. Saya hanya akan meminta maaf jika kesalahan saya begitu besarnya hingga membuat orang lain dirugikan lahir-bathin, dan bukan karena kecerobohan remeh tanpa unsur kesengajaan. Sementara 'sorry' yang sering saya pelesetkan jadi 'sowi' atau plainly 'sori' hanya jadi kembang lambe. Tidak lebih.

Ya, saya arogan masalah maaf-memaafkan. Saya sering mengingatkan teman-teman saya untuk tidak gampang minta maaf. Hanya karena salah window ketika ceting, terlambat dari janji, atau lupa menelepon bagi saya bukan kesalahan. Selalu ada alasan dibalik semuanya dan saya nggak perlu tau. Mungkin mereka sedang riweuh dengan pekerjaan atau banyak pikiran sehingga saya sementara hilang di benak mereka. Saya juga bukan pusat dunia. Tidak perlu lah diprioritaskan. Mereka juga nggak sehebat itu. Nggak usah lah sok merendahkan diri minta-minta maaf.

Pelajaran maaf-memaafkan ini saya dapat beberapa tahun lalu pada suatu sore adem di kamar kos. Sepulang sekolah, kamar saya yang tanpa kunci dan selalu jadi 'function room' itu sudah terisi seseorang yang sedang asik menyeduh kopi sachet satu-satunya milik saya. Reflek saya teriak, 'that's my coffee, you Bitch!'. Bener-bener tanpa mikir saya berucap. Mbak berjilbab dan berkacamata tebal yang saya dapuk jadi teman sekaligus partner in crime itu kaget melihat saya di pintu. Saya juga kaget mendengar suara saya sendiri. Nggak nyangka bisa sekasar dan seangkaramurka itu hanya karena masalah kopi. Sontak dia bangun dan menghampiri saya lalu mengenakan sepatunya. Saya speechless. "Maaf, nggak sengaja. Gwa reflek," ujar saya lirih beberapa detik kemudian. Dia hanya diam. Dari ransel merahnya dia keluarkan empat sachet kopi yang sama dan dia lemparkan ke dalam kamar. "Tuh, gwa bawain untuk elo. Gwa tau lo keabisan. Gwa bisa beli lagi ntar. Nggak ngopi disini juga gwa ga mati," katanya kemudian lalu pergi dengan langkah berderap. Terluka dalam diam, sementara saya nggak tau mesti gimana.

Seminggu kemudian e-mailnya masuk ke inbox saya (waktu itu kita sama-sama kere, nggak punya ponsel, kos nggak ada telpon, tinggal rada jauhan, tapi banyak warnet murah bertebaran). Dia bilang, perlu hati dan telinga baja berteman sama saya. Saya nggak perlu minta maaf untuk kejadian tempo hari karena sering maaf itu cuma di bibir tanpa diikuti perubahan. Jadi, daripada cuma jadi pemanis dan alat hipokrisi, lebih baik saya nggak usah minta maaf sekalian. Gitu katanya.

Point taken, dan itu adalah pelajaran yang amat sangat berharga bagi saya.

Bagaimana dengan si mbak berjilbab itu? Oh, kami masih berteman baik hingga sekarang, meskipun berbulan-bulan nggak ketemu. Beliau akhirnya menikah dengan salah satu 'pujangga maya' yang saya jebak dengan nickname tripel enam di Dalnet. Khusus buat dia, saya *sigh* ngaji sebelum mereka ijab. She's expecting now, due-nya Juli. Ngidamnya lirik lagu 'Stairway to Heaven' dan saya diminta 'menerjemahkan' arti terdalam dari lagu Led Zepelin itu. Semoga anaknya nggak bengal kayak saya.

Hey, Mpok! Kangeun euy! Ibu hamil ga papa kan mabuk es krim? Hehe.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?