Encounter

Semua manusia terlahir unik dan beda, katamu. Dan mimpi mengubah wajah negeri, one person at a time, yang datang dari benak seorang perempuan lusuh, hitam, gendut, melulu berbau nikotin dan jalanan, mungkin terlalu muluk untuk sekedar dicerna. Apa? A rebel without a cause, sanggahmu? Baik, memang begitu adanya. Memang, saya berjuang keras untuk jadi merah di kota mayat bertopeng putih-pucat ini. Saya tegak dalam ketelanjangan muka tanpa tudung. Karena hanya dengan cara itu saya bertahan hidup.

Sungguh sangat paradoks menyelami berbagai kejadian. Saya selalu yakin semua akan sangat proporsional saat saya berjarak. Denganmu, dia, mereka. Namun pemahaman akan datang ketika kamu 'menjadi' saya, dia, mereka. (Dan bagi saya, kamu hanya salah satu dari jutaan urban berhidup nyaman nan enggan tergoyahkan untuk turun membumi.)

Ya, kita sama punya koreng membusuk yang berusaha kita tutup rapat layaknya aib--dengan cara apapun--karena enggan terlihat (terendus) mata (cuping hidung) lain. Dan yang mengharuskan kita bertemu hanya satu: kasih pada seorang bermata kejora terlindung dua lengkung indah yang hampir bertemu di pangkal hidung. Bukan kebetulan. Itu saja.

Saya yakin kamu cukup 'lelaki' dan tidak membuat penis menjadi alat penindas. Saya juga percaya, dia dan sepasang gundukan kembar di dadanya tidak mencari cinta sedangkal stimulus pemantik lubrikan di liang senggama. Even the dogs don't bite the hands that feed them, maka saya berterimakasih atas dua piring apple pie nikmat dan secangkir espresso pekat di Jalan Jaksa, dengan obrolan sekitar film dan buku dan transgender dan kemapanan. Ini cara saya berterimakasih.

Oh, saya lupa bilang ya? Saya cenderung sinis daripada lucu.


I love my coffe black and hot. The taste is familiar with the life I lived in


Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?