Posts

Showing posts from January, 2008

So Fuckin' What?!

Image
OK, Perhaps I'm exaggerating. But I'm in love with an anime character you've seen in the picture. From his ever-frowning eyebrows, a pair of continuously thinking green eyes, thin and downward lipline, to his white hair (except for the fact that he's only 133 cm. Haha!). And I've made a resolution: In case you see him in living flesh, bone, and blood (and taller than my 160-cm height), please do tell me. I might ask his hand to marry me. * blushes * (Monyet! Bleach 158 blun nongol! Argh!)

Expensive Fantasy

Hey... Kamu ingat pernah membonceng saya lewat Gang Dolly ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya? Waktu itu hampir pukul dua dinihari dan saya protes. "Katanya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Masak cuma berapa gang gini?! Ini sih Sarkem!" Kamu sedikit menoleh kemudian bersuara dengan logat Jawatimuran yang kental. "Lha ini baru sejalur. Di kanan-kiri masih banyak gang-gang yang kayak gini, Dek!" jawabmu enteng. Dan saya cuma melongo mencermati rumah-rumah layaknya akuarium tempat ikan-ikan cantik duduk dan mengerling (bukan berenang) di sofa panjang. Tanpa air. Entah kenapa analisa sekilas saya masih lumayan bisa dipercaya. Ada yang bukan pada tempatnya. Beberapa ketiadaan dan kosong, meski lampu berkelip warna-warni dan musik dangdut berkumandang di sana-sini ditingkah teriakan dan cekikikan genit beberapa mbak-mbak dan gelegar bahak dari para mas-mas. Walaupun botol-botol bir tersaji di hadapan beberapa pengunjung yang digelendoti manja para perem

Requiem, Anyone?

Seperti yang pernah saya bilang disini , Tuhan menciptakan langit, bumi, malaikat, setan, manusia, alam semesta dan segala isinya yang kemudian Dia jalankan secara autopilot. Terus abis itu Tuhan ngapain? Well , lalu Dia duduk bersandar dengan nyaman dan menikmati satu drama panjang bernama KEHIDUPAN ditemani bercangkir-cangkir kopi pahit dan kudapan ringan. Tanpa iklan, tanpa jeda. Tanpa cela. Semua aspek di dalamnya berkelindan, membelit, bertautan. Semua berdasar skenario besar yang Dia buat. Dan Hundred Years of Solitude adalah satu skenario berukuran sepersekian nano yang ditimpakan pada Marquez ketika Dia menghela nafas. Karena itulah saya nggak pernah percaya pada sesuatu bernama 'kebetulan'. Semua muntahan saya disini bukan usaha saya untuk memposisikan diri jadi tinggi diantara manusia lain, karena rentang antara telapak kaki saya dan ubun-ubun hanya berjarak seratus enam puluh senti (dengan volume sesak, padat dan mampat. Haha!). Namun semua hal yang saya temui hingga

Far Away So Close

Argh!!!

Sepotong Sesuatu Bernama Masa Lalu

Saat kau ingin melupakan, di waktu yang sama sesungguhnya kau sedang mengenang - Pakdhe Pamei, the youngest historian and an avid storyteller ever Mengenang dan melupakan adalah dua hal yang sejalan. Layaknya pedang bermata dua dia dapat mengiris atau membantumu bangkit. Membingungkan, namun kadang melegakan, perihal mengenang itu. Perempuan itu baru sadar ketika di suatu dinihari berbadai dia berada di luar, di bawah kanopi shelter Hotel Nikko Jakarta, menikmati pemandangan orang-orang yang berjuang layaknya mempertahankan nyawa selembar. Di sisinya adalah seorang sahabat yang setia menemani ketika kondisinya berada di bawah titik nadir. "Dia datang lagi lewat abangnya." Sebentuk kalimat meluncur jernih tanpa jeda dari bibir sang perempuan, sedetik setelah asap nikotin terlepas dari sana. "Siapa?" tanya si lelaki. "Dia-yang-namanya-haram-kusebut. Dia-yang-berhasil-membawa-serta-separuh-jiwaku. Dia-si-monumen-penaklukan-sekaligus-penghambaan. Dia-yang-sangat-he

I Object!

My (was) significant one mendadak datang dalam bentuk selarik kata sapaan demi melihat status perangkat ngobrol saya bertuliskan 'terjebak'. Nggak masalah jika kalimat saya sebelumnya bukanlah: "Kalo ampe sore lo nggak dateng, tolong jangan kontak gwa lagi melalui media apapun. Pretend that I ain't exist at all". Ketika saya tanya motif dibalik sapaannya, dia hanya menjawab bahwa itu adalah bentuk kepeduliannya sebagai teman. Tidak lebih. Namun apakah dia masih bisa dianggap teman ketika permintaan saya yang paling mudah--untuk tidak memperbincangkan agama--tidak dia respon sama sekali? Apakah definisi 'teman ' adalah pemaksaan kehendak akan penerimaan suatu informasi yang salah tanpa mau mendengar penjelasan lebih lanjut? Masihkah dia bisa dianggap teman ketika semua hal yang pernah dia katakan dulu--demi kemaslahatan bersama--ternyata diabaikan? Pada akhirnya saya hanya akan membangun benteng pertahanan tebal-tebal, tinggi-tinggi. Salahkah saya jika dal

Fucked Up, Anyone?

Let me apologize to begin with. Let me apologize for what I'm about to say. But trying to be genuine was harder than it seemed. And somehow I got caught up in between. But trying to be someone else was harder than it seemed. And somehow I got caught up in between Mandor saya di pabrik bilang bahwa saya nggak seharusnya jadi terlalu blunt . Menyenangkan hati orang lain adalah beramal dan toleransi, katanya. Jika saya terlalu jujur maka saya egois karena saya hanya mementingkan perasaan saya sendiri. Ya, sebegitu parah bekerja di pabrik topeng. Karena para buruhnya pun harus memasang topeng yang mereka buat di wajah mereka. Dan saya terjebak di tengah-tengah karena mencoba jadi diri sendiri. Still... What the fuck! I'll do what I want as long as it's not hurting other people. Physically. Teehehe * evilgrins * Saat saya mengingat ke belakang maka saya sadar betapa amat sangat susahnya menjadi 'perempuan penghibur' untuk menyenangkan hati orang-orang terkasih, menurut s

Yet Another Pasaran Post

What a damn roller coaster in a whole year. Have a helluva ride ahead, y'all!