A Night To Remember

"Permisi..." ujar kami serempak.
"Silahkan... Besok-besok pake tiket ya," jawab salah satu diantara orang yang berdiri di pinggir jalan.
Lepas tengah malam. Lewat beberapa menit dari pukul dua dan kami merasa tanggapannya lucu sekali, dilontarkan dari mulut seorang lelaki paruh baya dengan gaya kemayu. Hidung dan bibirnya mirip Haji Jeje, berdiri diantara perempuan bermata sipit dengan celana superpendek, paras ditutup bedak tebal-tebal, mengenakan singlet atau tanktop minimalis (dan belahan dada dimana-mana), serta rambut panjang terurai--rata-rata berwarna coklat terang. Ada beberapa yang duduk di atas motor, lengkap dengan helm dan jaket. Di sepanjang jalan itu mereka berjejer. Di pinggir jalan sebelumnya berderet lapak penjual Cialis, Viagra, Kondom Lele dan macam-macam barang seperti itu. Nggak ketinggalan bokep-bokep masa kini. Benar-benar one-stop market untuk urusan pinggang ke bawah. Saya dan si Beyond Pervert melenggang santai menikmati suasana: bagian dari Jakarta yang berdenyut bingar (namun sepi) sepanjang waktu.

Beberapa jam sebelumnya kami baru saja terjebak selama tigapuluh menit. Rencananya akan ada seorang kawan lama yang janji bertemu di sebuah resto cepat saji daerah Lokasari. Saya sudah berharap kita bakal nongkrong dan ngobrol, berusaha menangkap dan mengejar waktu yang hilang diseling rokok dan cemilan. Tapi apa lacur? Si teman yang DJ di tempat ajeb-ajeb itu menggelandang kami menuju ruang karaoke tertutup di lantai atas diskotik abal-abal (meskipun saya nggak pernah suka tempat pekak seperti itu, saya tau beda antara keren dan abal-abal karena dulu sempat terkurung di Centro). Sungguh, tertutup sekali. Ketika kami masuk, bau harum menyengat menerjang hidung. Di detik yang sama, suara hingar-bingar musik menghentak menghantam gendang telinga kami hingga berdentum ke dada. Tanpa jeda. Di dalam remang-remang, hanya beberapa lampu berwarna yang menyala dan tidak begitu membantu. Dua buah televisi 29" mematung diam, gelap tanpa gambar (dan baru saya sadari setelah saya hampir nabrak dengan sukses). Di atasnya menggantung sebuah televisi--lagi--yang menayangkan sinetron tanpa dialog. Hanya mbak-mbak dan mas-masnya mangap-mangap, saling tunjuk, muka marah, berpelukan, lalu nangis. Standar sekali.

Di seberang televisi ada sofa berbentuk L dengan meja besar. Di atasnya ada pitcher, botol-botol bir dan gelas, serta kaleng minuman yang letaknya tidak beraturan. Beberapa pasangan umpel-umpelan rapat nggak karuan. Hanya dari bayangannya saja saya bisa tau itu adalah lelaki dan perempuan, dan ada sekitar empat pasangan disana. Tidak termasuk kami. Terpisah dua meter dari sofa ada ranjang lumayan besar (what the fuck is that bed doing di tempat karaoke?! Emang ada orang nyanyi ampe mo pingsan sampe harus sedia kasur segitu gede?! Hey... ini mana yang nyanyi?! Katanya tempat karaoke?!). Kami hanya garuk-garuk kepala karena nggak ada satu pun orang yang dikenal kecuali Mas Dije. Lagipula, percuma kenalan. Suara musik yang ngaujubillah itu--dengan setelan trebel gaya orkes Soneta--menelan semua usaha komunikasi kami.

Alih-alih berdiri di tengah ruangan macam patung Selamat Datang, saya menyeruak dan duduk secueknya di tempat yang masih lowong. Sebelah kanan saya sepasang manusia yang tadinya rebah merapat langsung lepas dan menyomot tisyu. Nggak tau untuk ngelap apa karena saya buang muka ke kiri, ke lelaki aneh berkacamata hitam yang duduk dengan bahu bersandar sambil gedeg mengikuti hentakan musik. Si Beyond Pervert mengambil tempat di samping saya dan langsung mengeluarkan ponselnya. Sesaat kemudian dia mengangsurkannya ke pangkuan. Ada text message yang belum terkirim, berbunyi 'gwa ga tau bakal dibawa ke tempat kek gini. Sorry. Dun drink anything unless I said ok and keep an eye on your cigarette pack. I won't go anywhere'. Saya jawab dengan: First of all, I dun drink in a place like this. Take your time. I'll try to enjoy this as much as I could. Kinda get the ambience, though (= Dan saya merasa jadi a bad liar.

Saya nggak tau apa yang mereka omongin dan bagaimana mereka cekikikan and make up for the lost times karena mata saya tertancap di layar televisi. Baru kali itu saya bersyukur ada yang menciptakan sinetron, karena saya ada bahan pengalih perhatian: menebak dialog yang diucapkan para pemainnya.

Setelah saya 'menandai teritorial' (iya, edan! Segitu nervousnya sampe saya mules), kita langsung cabut dan menghirup udara luar. Sudah jam sebelas malam dan entah kenapa kami tiba-tiba lapar. Akhirnya terdamparlah kami di resto fastfood tempat janjian tadi. Ngerumpi, ngobrol ngalor ngidul bali ngulon--lagi-lagi berdua--dan ketawa-ketiwi hingga dinihari. Selingkaran kami hanya ada om-om puber ke sekian ditemani mbak-mbak kinyis-kinyis bersuara renyah merdu merayu. Such a night! Such a night, indeed...

As a human, have you ever feel sorry for those mbak-mbak who sell their bodies to the night?
I believe that everybody have their own choices, paths, you name it. Perhaps it's just their way in achieving life and triumph over prosperity.
So, you agree in prostitutions, then?
I never do. I just don't want to make it big by preventing myself from taking the benefit from such thing. I mean, fucking is a matter of need, and it has to be reciprocal. When I fuck one of mbak-mbak, it is going to be me who get the satisfaction. Not them, because they're just selling. It's not fair. And they are fake. You know why they always standing in the dark? Because when you see them in the light, they're all ugly under the face paintings. It's the bodies they sell, the ride, the function. When you--fortunately--got the aestetics side of them, it's merely bonus.
What if they do that because they've got to earn their living?
Still, it's their choice. I think there are a lot of decent ways to earn a proper living and make the best of it. Not by spending weekends to Mondays renting a place to get high, listen to the deafening music and wasting millions to do so. It's an unending stupidity.
And what is 'living', anyway?
It's about getting into the process of how you deal with problems, solved or unsolved. It's about courage to take a daring step for the sake of a better achievement. It's about being brave to bear the consequences without regret, because it's one of the things money can't buy, regret is. It's about pursuing, continuously, to the higher level of accomplishment. Through the ups and downs. That, my friend, is what makes a life.


...and The Pervert Masta has spoken...

[entah kenapa yang terngiang-ngiang di kepala saya adalah Janie's Got A Gun-nya Aerosmith]


Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?