Dia yang Hidup dengan Cinta

Jumat malam kemarin adalah kali pertama saya nongkrongin Cak Nun dan Kenduri Cintanya dengan sungguh-sungguh. Minuman yang menemani waktu itu hanya kopi hitam dari bakul yang nenteng-nenteng termos, bukan dari Si Gondrong. Biasanya tiap Kenduri, saya nggak sengaja ada di luar panggung, di balik tembok, di luar pagar, berteman se-pitcher sari buah ber-khamr dan berteman Bala Kurawa yang baik-baik dan cihuy. Kali ini saya niat, madep-mantep, mau dengerin Cak Nun dengan 'bersih'.

Malam itu suaminya Mbak Via ini tampil dalam formasi lumayan lengkap. Bareng Kyai Kanjeng, Ibu Tirinya Sabrang, dan Anak Tirinya Mbak Via. Dalam lagu dan canda, mereka menanggapi Indonesia dan segala rupa-rupanya. Baginya, yang baru dan lama, angkatan tua dan generasi muda, old and new, harus sinergis dalam tubuh sebuah bangsa. Biar imbang, dia bilang. Seharusnya juga para muda-muda itu 'ngeh' akan akar, akan asal, akan budaya, supaya tau bagaimana 'menjadi' secara kaffah (meskipun Cak Nun menjawab 'Pek en!' demi menanggapi batik dan Rasa Sayange yang diembat Malaysia. Semua ada mekanismenya, sanggahnya optimis.)

Sepulangnya, entah kenapa saya merasa sedang evolusi. Berawal dari nyamannya saya di tengah keruwetan Terminal Blok M, memandangi lalu-lalang orang dan bis serta mbak-mas yang pelukan rapat. Ambience yang aneh karena mereka bisa saya cermati sambil senyum, bukan tak pelototin. Lalu suara saya yang tetap datar saat mbak berdada besar dan berbibir indah itu ngenyek nggak karuan. Apakah berkat album Spirit of Buddha Bar yang irama lembutnya menyumpal gendang telinga saya waktu itu? Ataukah saya sudah lelah muring-muring nggak karuan? Atau saya masih terkesima melihat betapa pandai Bapak dari Jombang itu menanggapi masalah dengan arif. Betapa semua kru Kyai Kanjeng menyanyi dan bermain dengan cinta. Yang pasti, beberapa kali saya merinding disko mendengar beberapa lagu yang sama sekali nggak ada di playlist saya, dan bahkan saya baru dengar saat itu. Cuma dua hal yang bisa bikin saya seperti itu: kedinginan dan merasa ditohok di ulu hati secara konotatif. Padahal saat itu saya berkeringat dan suasana agak sumpek.

Apapun itu. Terimakasih, Cak Nun. Gojek keremu bikin kangenku sama Jogja sedikit terobati.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?