Another Requiem for Another Soul



"Hi there, Sistha. I want to share my agony. Tonight I've been heartbroken. It's so damn hurt I threw my guts up. Literally."

Seperti biasa kamu menyapa ketika sedih dan sepi melanda. Aku sama sekali tidak keberatan, karena mungkin kamu hanya perlu aku seperti ini.

"Please. Shoot."

Dan dalam teks-teks panjang melalui internet kamu mengerang, teriak, mengaduh, menyumpah dan akhirnya lungkrah pasrah tanpa bisa apa-apa. Sekali ini kamu mengakui bahwa kamu memang bukan siapa-siapa. Sesuatu yang aneh. Tapi aku bahagia. Kamu masih tetap manusia dan bukan malaikat penjaga pintu surga yang di dalam bayanganku sombong luar biasa karena mandat yang dia pegang, langsung dari The Boss.

Yang lebih edan adalah penyebab patah hatimu itu masih bisa tegar mendampingi kamu curhat di warnet, dengan pisuhan menghampiri sesekali dan hanya dibalas senyum. Perempuan luar biasa itu, yang telah lelah menunggu dan diacuhkan, akhirnya memilih lelaki lain sebagai pendamping dan my brotha tercampak begitu saja. Bukan salahnya. She deserves better and it's obvious that you don't fit the criteria.

Mari muntah bersama, ajakku. Aku pernah sepertimu meski tanpa muntah. Hingga sekarang, setelah hampir tiga tahun berselang, nyeri itu tetap ada meski kadang datang dan pergi. Percayalah. Waktu adalah dokter sekaligus hakim. Kamu setuju. Sementara nikmatilah sakit itu. Kamu pun mengiyakan. Mungkin kamu suhu buat orang lain. Mungkin kamu idola bagi para penulis amatir. Mungkin kamu Alkemis untuk seseorang. Tapi kamu tetap menyumpahserapah saat harus ambruk jiwa-raga hanya karena perempuan. Face it, Bro. You can't have everything you want. Maaf jika aku mentertawakan kerubuhanmu. Aku senang, aku punya teman.

Sudah ya. Baik-baik disana. Jika memang perih, perihlah dengan gagah. Tertawakan kejatuhanmu sendiri. Angleslah pada diri sendiri sambil tersenyum. Itu kesombongan baru yang harus kamu pelajari dari aku since I've been there and done that thousands of times (=



Dedicated to Pakdhe Pamei. See? Bahkan Pamei pun patah hati. Kalo nggak, mana mungkin dia bisa sekejam itu sama Beatrix Kiddo?!

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?