Posts

Showing posts from July, 2007

Another Fake Orgasm

And that is this fuckin' blog thingy is all about. I'm doing nothing but satisfying my crave of attention. I'm through playing wannabe martyr. I'm done being fallen, unrecognized heroine. My time has come to retire from a miserable drama queen. For all of the unfortunates who are not blessed by fluent English, I'm saying this out loud: Saya selesai sampai disini. Entah sampai kapan. I'm not impersonating that guy in wordpress that fetched various statements from those who despised him and he tired of them. My visitors are mostly nice people and I would kill to be that popular. Don't put too much honors to yourself. No, it's not because of all the godamned fuckin' irrelevant comments. It's not because of how you put your stupid values upon me either. It's just somehow I feel enough. I'm finished with my broadcasted, no good, ridiculous state of minds that I blatantly pushed before your very silly faces and shoved up to your brain and feel

Hey, Han. AgamaMu Apa?

Sering gwa dipaksa jomblo kalo lagi nongkrong ama temen-temen gwa yang kebetulan sering melontarkan ide-ide (yang menurut orang lain) subversif. Gwa harus meniadakan Pacar gwa sementara supaya masuk ke term mereka. Dan kemarin gwa ngobrolin masalah ini sama seseorang, tentang gimana agama itu cuma bikinan manusia. Wahyu? Oh, di tempat kami biasa nongkrong sering banget orang-orang ketiban itu. Entah datengnya dari 'penghuni' Planetarium atau dari Dia-Yang-Namanya-Boleh-Selalu-Disebut. Salah satu manusia fucked up (slash mentor dalam urusan pervert ) pernah meng-kupipes gagasan yang dia dapat dari salah satu milis. Menurut kupipes itu, Indonesia sama sekali nggak pernah merdeka dan terang-terangan menindas rakyat dengan memaksakan lima agama 'impor' tanpa mempertimbangkan kepercayaan lokal yang lebih dulu ada. Padahal nggak harus gitu lah. Negara nggak berhak ngurus kehidupan warganya sampe ke level se-personal itu. Sama halnya negara nggak berhak ngurusin rakyatnya mau

Capitalism, Anyone?

Konon, manusia pernah menemukan cara mencukupi diri dengan saling menukar barang. Kalo misalnya gwa perlu ayam untuk dimasak dan Oknum M butuh wortel ( untuk apa? Tanya sendiri ), kami tinggal barter. Setelah itu gwa bakal bahagia menikmati semur ayam dan Oknum M akan mengerang dengan wortel. That's what I call fair trade. Everybody's happy and no harm done, kecuali terhadap ayam dan wortel. Dan si Oknum M, mungkin. Kalo dia nggak pake KY jelly atau saos sambel. Zaman berubah. Manusia selalu berusaha membuat hidup lebih baik dan nyaman, karena itu banyak tercipta alat bantu. Mulai kapak batu hingga cangkul ketika zaman pra-sejarah makin progresif--meramu, berburu, hingga bercocok tanam. ( Gwa baru tau kalo jaman pra-sejarah udah ada sekolah Hogwarts. Ada pelajaran meramu segala! ) Kata Eyang Darwin, evolusi berawal dari Homo Soloensis hingga Homo Sapiens ( ya ya, ini cuma to make long story short, jangan protes! ). Dengan berubahnya fisik, alam, lingkungan dan organ berpikirnya

I (Don't) Hate Monday (If She's Around)

Me : Hi there, beautiful Me : (= Her: Hei!!! Ya ampyun! Sibuk kamu sekarang? Me : Nggak sih. Biasa lah, Senin. But I always have time for you, Gorgeous Me : (= Her: Haha... Her: I miss youuuuuuuu... Kangen ngobrol gila sampe dinihari lagi seperti dulu Me : Aw... sama )= Her: Uhm, kamu tau nggak? Kalo aku kangen kamu, aku sering nyambangi halaman bermainmu itu. Dan aku baca... tentang cewek yang takut penis itu? Haha! Me : Hihi... Kamu inget pernah ngomongin itu? Her: Tapi aku udah pulih sekarang. Nggak takut lagi. Galakku memudar, meski watak kerasku masih tersisa. Dulu itu mungkin cuma justifikasiku aja akibat seringnya diganggu lelaki sejak jadi ABG Her: Ini udah tahap psikoanalis lho! Haha! Me : Halah! Her: Sekarang udah nggak kok. Aku berusaha memposisikan mereka layaknya manusia. Lelaki kan nggak cuma penis aja. Sama kayak perempuan nggak cuma dada aja Me : Hehe... Me : Iya sih. Makanya aku bilang aku lebih suka liat Brad Pitt berdarah-darah with his trousers on Her: =)) Me : Kaya

3.54, Merindu Subuh

Han, Aku mau sambat . Aku sedang kecewa. Aku memaki perubahan di sekelilingku yang tidak membawa kebaikan. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa, bahkan hanya untuk protes. Ternyata kebijaksanaan itu sama seperti apa yang disebut hidayah: harus dijaga. Aku down banget melihat orang yang kupikir bisa di gugu dan ditiru, sekonyol apapun tingkahnya, sekarang jadi penindas. Dia buta warna, nggak bisa bedain mana merah mana hitam. Yang dia dengar hanya bisikan dan aduan, bukan objektivitas. Kecerewetannya yang dulu kerap bikin aku belajar, sekarang nggak lebih dari kenyinyiran ibu-ibu arisan membincang siapa punya apa berapa dimana dan kapan. Keangkuhannya yang dulu kurasa bikin dia berwibawa sekarang nggak lebih dari kesombongan nggak ada isi dan nggak ada arti. Keropos. Posisinya yang diatas membuat dia selalu mendongak, sulit menunduk dan melihat siapa yang dia injak. Kedermawanannya sekarang mirip dengan ajang pameran. Penilaiannya tertutup kabut pakaian bermerek, bukan performa. Orang

Membedah Nikah

Ada apa sih minggu ini? Temanya kawin ya? Nyindir gwa ya? Emang kenapa kalo gwa anti kawin? Pertama gwa kena blue syndrome waktu gwa tau satu-satunya orang yang paling mendekati abang di Necropolis City ini bakal nikah setelah Lebaran nanti. Manusiawi sih, lha wong dia sudah tiga puluh sekian dan masih perjaka. Kecuali sama Tante Rosa dan Tante Ropak. Sempet ngobrol sama beliau sih, kalo gwa pasti bakal kehilangan pasangan 'poto-poto bokep'. Gimana akses gwa akan terbatas untuk sekedar wadul atau menghujat kaumnya yang biasanya bakal dia tanggapi dengan santai. Dia pasti bakal meminimalisir waktu nongkrong karena akan sibuk kelon dengan sang belahan jiwa. Seperti sibuknya salah seorang adek kelasnya di Sastra Nuklir dulu yang sekarang memburuh di Bapeten. Lagipula, ini kan pemanfaatan. Daripada cuma dipake pipis doank atau untuk gantungan baju, coba? Cuma gitu tanggapannya. Haha. Bwek! Kedua Mpok gwa minta gwa mbaca satu ayat yang biasanya ada di undangan-undangan kawin, Ar-

Tentang Kawin-Mawin

Sebuah percakapan Minggu siang nggak penting melalui media instant messenger: Perempuan: Bang, weekend ngapain onlen? Lu kan punya pacar. Pacaran dunk! Jalan-jalan kek, ngapain kek Laki-laki: Pacaran kan tinggal ngamar aja Perempuan: Gitu? Emang beda ya gaya pacarannya orang 30sumthing sama anak 20sumthing Laki-laki: Ya iya lah! Perempuan: Jadi, minggu ini si kakak ga dapet setoran sperma? Laki-laki: Oh, itu sih udah tiap hari Perempuan: Lha tuz buat apa kawin? Macem guguk ngencingin pohon tempat dia biasa berjamban, ya? Nandain teritorial kalo kakak milik lo, bukan milik lelaki laen? Laki-laki: Karena cuma dengan kawin maka janji gwa ke dia bisa terwujud. Gue pengen bareng dia seumur hidup. Gue ga bisa janjiin apa-apa ke dia selama gwa belum kawinin dia Perempuan: Lha? Lu janji aja sendiri ke si kakak kalo lo bakal seumur idup ama dia dan bakal jadi laki-laki Batak yang bertanggungjawab dengan cara provide apapun kebutuhannya. Daripada lo ngabisin duit buat acara adat dan pemberkatan

Yet Another Furiously Thrown Disclaimer

Hari ini dapet ajakan gabung di sini dari Ibeng, mantan temen satu sekolah dulu. Ok. Won't hurt to join, though. Jadilah, ikutan bikin account. Nggak berapa lama di inbox imel ada Maz KW minta di admit jadi temenku. Ternyata beliau ini juga ikut jadi anggota taman bacaan. Ok. Di approve, wes. Eh, lho? Kok ada lagi? Sekarang pakek kirim-kiriman message segala. Oh, ternyata seseorang udah pernah nerbitin buku (meskipun indie) dan sekalian pengen promosi. Allrighty, then. Tak iya-in wes . Sambil sekalian woro-woro kalo aku juga udah pernah nerjemahin dan nulis kecil-kecilan disini. Eh, berbalas! Seperti ini kutipan balesannya: hm.. mas pit.. ga ada tulisan yg 'sampah' yang ada hanya 'orisil', 'beda', dan 'eksentrik' ^^ WHOOOOT?! AGAIN?! Padahal udah tak tulis di account-ku kalo aku FEMALE, avatarku bergambar malaikat setengah setan nan seksi yang susunya wutah-wutah. Katanya dia baca entri gwa, tapi koq...? GWA KURANG PEREMPUAN GIMANA, COBA?! Kemudi

Membincang Selangkang

Silahkan maki saya vulgar, nggak beradab, kasar, binal, sundal, apapun lah. Saya cuma nggak mau menabukan hal yang memang nggak tabu karena saya bisa lihat jelas penandanya dimana-mana. Penis. Saya rasa satu kata itu nggak mewakili makian atau porno jika dipergunakan dalam term yang sesuai. Lain halnya jika memakai nama lain untuk menunjuk benda yang ada di tiap selangkang lelaki atau trans-gender. Sungguh, buat saya nggak tabu menyebut penis. Yang tabu adalah simbol yang mewakilinya, saking tabunya bahkan sebagian besar manusia nggak sadar bahwa mereka terhegemoni karena amat sangat rapihnya hal tersebut terkamuflase dan tidak dibicarakan. Buat saya, kekuasaan yang terlambang pada penis sangat menakutkan. I have penis, therefore I rule. Mungkin begitu penjewantahannya dalam kata. Gedung-gedung dibangun sangat tinggi sangat megah, melambangkan phallus yang dipuja orang-orang dahulu kala, lengkap dengan skortumnya berupa bangunan dasar yang melebar. Mari bikin setinggi-tingginya. Masukk

Happy Anniversary!

"Kenapa harus bagus-bagus? Ini kan cuma blog?" Saya tercekat dan kepala saya otomatis membanding karya dia--meskipun dikerjakan secara ngasal tapi tetep aja keren--dengan orek-orek saya yang dipergaya dengan kata-kata sok canggih. Uhm... bukan kenapa-kenapa sih. Saya hanya nggak suka kerja setengah. Mau bagus, bagus sekalian. Mau blangsak, blangsak sekalian. Tapi beneran deh, semua yang ada disini amat sangat copyleft. Silahkan dikupipes, compile, utak-atik, acak-acak, di save dan akui ini tulisan kamu. Nggak masalah. Buat saya, semua ini cuma pembuangan sampah yang terkumpul dua tahun. ... karena orang Indonesia yang tidak berproduksi pasti korupsi... - Pram [Tepat di hari ini, dua tahun sudah saya disini. Berapa lama lagi hingga jalan jadi ujung?]

Inferior Syndrome

Karena gwa selalu otomatis ambil plafon paling bawah--dengan gwa sebagai ukuran, tentunya--dalam menganalisa, seringkali gwa terkaget-kaget sendiri pada akhirnya. Waktu itu ibunya Ivan, temen seangkatan di SMA dulu, gendong bayi dan dibilang itu cucunya dari si Ivan itu. "Ayo... elu kapan bisa bikin yang kayak gini? Umur udah berapa, lu?!" tanya si ibu yang emang funky itu. "Yah, Ibu... Gwa kawin aja males. Pacaran apalagi, lebih males. Gimana mo punya anak?!" "Lha emang napa lu ga mo kawin? Pacar lu bukannya banyak?" Dem. Nyindir ni si ibu. Dengan muka cengar-cengir, gwa kemukakanlah hasil analisa ngasal gwa bahwa sepasang lelaki dan perempuan yang meresmikan ikatan suci dalam holy-fuckin'-matrimony adalah bullshit ketika diwujudkan dalam satu atap. "Yang ada nih Bu yah, ntar gwa capek-capek balik kerja masih harus nyuci baju dan nyetrika juga. Padahal kan baju sama-sama make. Harusnya sama-sama nyuci juga dunk! Gantian lah. Nanti kalo gwa minta

Kamis Yang Aneh...

Pitoresmi Pujiningsih, maukah kamu mbaca surat Ar Rum: 21 sebelum akadku di masjid jam 9 pagi bln Agustus? Pnghulu&pnganten pria dah ada. Message from: Mpok Rin 8:42am 19-Jul-07 Duh, Han... Nggak nyangka aku masih dikasih amanah seperti ini. Terima kasih. Ternyata Kamu masih kangen aku. (= And of His signs is this: He created for you helpmeets from yourselves that ye might find rest in them, and He ordained between you love and mercy. Lo! herein indeed are portents for folk who reflect. Quote taken from here .

Pengakuan Dosa

Hey, kamu! Saya bilangin ya. Saya nggak sebaik yang kamu pikir. Saya perusak. Apapun yang ada di dekat saya pasti hancur. Saya nggak bangga dan juga nggak sedih karenanya. Tapi... Saya nggak mau jadi tumpuan kekesalan ketika kamu menyesal mengenal saya. Sudah lah. Kamu nggak kenal saya juga nggak kenapa-kenapa. Duniamu nggak akan jadi lebih baik. Perang nggak lantas berakhir atau wabah kelaparan nggak mungkin berhenti begitu saja. Namun ada satu hal yang perlu kamu ingat. Tiap perjumpaan membawa makna sendiri. Dan bersyukurlah pada apa yang kamu percaya-entah setan atau sesuatu yang kamu sebut tuhan-jika kamu merasa hidup berada pada akselerasi teratas dan dunia berjalan semakin cepat. Tandanya kamu sedang menikmati wahana yang tersaji. Selamat pagi. Selamat tidur. Mimpi yang indah... (= dedicated to: OmBu , Mbak Intjeh , Bunjems , dan The Mastah of Lagging . Long Live BDSM dan Oral Sex!!! * Ctar! Ctar! *

Yet Another Immaterial Idea Successfully Redefined

Image
Dia, merah marunku. Kurengkuh agar tak terlihat dari luar. Kubiarkan membunglon di tengah lingkaran. Kujaga agar bebas kontaminan. Dan tetap nyalanya terpancar, hangat, memantul lembut di pipi pecinta: merah marun. Terkadang dia menjadi inti, dengan kulit menjelma violet gelap saat gundah menyergah, mengandai merah yang sama di kungkungan iga berbeda nan entah dimana. Sering terselimuti biru bahkan, ketika rindu menyapa mengecup hangat kening dengan bibir membara. Indah, berkilat, berani, sensual, merah marunku. Sayang... Merah marun itu kini sewarna tirai pada teater lawas. Terlupakan. Cabik, kusam, berdebu. Ada tetes leleh serupa darah mengaliri sela jemari ketika kudekatkan dia ke wajah, mencermati masihkah dia baik-baik saja. Meski ternyata tidak, syukurlah dia punya semangat juang tinggi. Aku khawatir dia thalasemia karena lukanya tak kunjung kering walau telah bertahun-tahun digoreskan dan perihnya tak kunjung mereda. Dan kuyakin, merah marunku tidak berusaha menggores dirinya se

Halo, Matahari! Apa Kabarmu Sore Ini?

... dan semua melenyap seiring berkas cahaya pertama pagi hari yang masuk menembus jendela kamar, melewati teralis sok Barok, menyerapi korden bergaris coklat, kemudian jatuh samar-samar ke wajah saya. Pagi itu semua jadi terlihat lebih jelas, meski saya baru lelap satu jam setengah. Walau pening, saya angkat kepala. Dan kemampatan itu seperti merembes keluar dari kedua belah telinga layaknya congek yang encer akibat isi kepala membara. Meski cairan yang leleh dari kedua sisi kepala saya berbau busuk, udara pagi mengaburkannya. Terima kasih, Pacar, untuk matahari yang mencipta pagi sempurna, siang sederhana, dan sore menentramkan...

Jangan Khawatir. Saya Nggak Akan Iris Nadi atau Gantung Diri karena Saya Terlalu Cinta dengan Hidup yang Hanya Sebentar Ini

Hey, tunggu. Berhenti dulu. Jangan buru-buru. Aku mesti istirahat. Tiba-tiba dadaku sesak. Seperti terhimpit batu tak kasat mata. Bukan, bukan karena capek. Entah apa. Mendadak rasanya sakit. Getir. Miris. Pilu. Jadi satu. Kenapa bisa? Apa mungkin karena aku yang kelelahan mengejar apa yang kupikir harus terkejar? Apa aku yang terlalu ngotot mengalihkan rasa kecewa hingga akhirnya semua membuncah keluar tanpa bisa terbendung saat picu ditarik dan peluit wasit berbunyi nyaring? Atau mungkin aku kebingungan mencari sebongkah jiwa yang mampu menampung penat dan sumpek yang memampat dari telinga kiri ke telinga kanan hingga semuanya meluncur turun ke dada sesuai gaya gravitasi? Aku khawatir tidak bisa berkaca seperti mahluk fana pada umumnya. Aku takut nggak bisa liat salahku dimana. Aku ragu apa kepakanku mampu menerjang angin yang bertiup brutal hingga mataku perih dan berair. Sebentar. Biar kurasa-rasa. Hm... Benar. Ini namanya kesepian. * Insert 'Portishead - Sour Times' here

Me: Trying to Swallow More Than I Can Chew

Di suatu masa, hidup Noam Chomsky. Saat dia kanak-kanak, bangsanya tinggal berpencaran ke hampir seluruh dunia, kemudian dibenci dan dibunuhi. Seorang pemikir besar membukukan gagasan membentuk negara baru di 'tanah yang dijanjikan', dan keluarga Chomsky kecil menjadi pendukungnya. Rupanya dia mendengar nurani. Karena itulah dia berbalik menentang apa yang selama ini dia bela. Kemudian pikiran ilmiahnya menemukan cara bagaimana bahasa dapat menjadi bahan penelitian dengan meletakkan nilai-nilai kuantitatif layaknya matematik pada kata, pada makna, pada akar bahasa (yang bikin gwa ngulang mata kuliah yang sama tiga kali. Ya! TI GA KA LI ! Berbuah D, rata. Bedebah memang, bahasa jadi matematika itu). Lalu ketertarikannya pada media dan teori-teori pengguncang yang dia kemukakan membuatnya jadi salah satu dari sepuluh intelektual yang paling sering dikutip, tepat di bawah Plato dan Freud. Begitu hebat, begitu berpengaruh, begitu cerdas (dan salah satu bukunya jadi diktat wajib di

Thus Spoke An Atheist

Gwa dapet tulisan ini dari blog temen yang iseng gwa bongkar-bongkar entrinya. Gwa suka tulisan dan pesan di dalamnya. Kurang-lebih gwa banget. Dari sekian banyak ateis yang gwa kenal (dan hampir ateis--mungkin gwa salah satunya), orang ini nggak menghujat Tuhan atau berkata-kata kasar. Dia lebih santun mengemukakan pendapat. Mungkin karena dia bule atau hidup di lingkungan moderat. Sayangnya, gwa nggak pernah tau siapa penulisnya meski gwa amat sangat seneng ketika terjemahan ini selesai. Semoga bisa jadi cermin... ps: untuk tulisan asli dalam boso linggis lo bisa minta ke gwa dan silahkan kritik terjemahan gwa. maaf, nggak ada link. gwa nggak yakin yang punya blog mau diketahui identitasnya sama temen-temen gwa. Memaknai Hidup ala Ateis Salah satu konsep salah kaprah tentang ateis yang ada di benak orang awam adalah bahwa kami nggak punya respek terhadap kehidupan - manusia maupun yang bukan. Karena kami, ateis-ateis ini, menganggap seluruh bentuk kehidupan hanya sebagai keanehan al

Dont Wanna Live My Life in Autopilot

Saya kangen merindu-dendam lelaki dimana tiap detik rasa dan pikiran saya hanya terisi dia untuk kemudian patah hati, berkali-kali (lalu cari lagi, berkali-kali juga). Saya kangen berhujan-hujan saat saya masih usia lima, hanya mengenakan singlet dan celana dalam dan demam setelahnya. Saya kangen memandangi pendar meriah petasan pada langit di atas taman hiburan ketika Babab ajak saya Sabtu malam, lalu mengantuk sepanjang arisan keluarga keesokannya. Saya kangen melihat sumringah senyum di wajah sahabat akibat kata-kata penguatan yang saya kutip sambil tergagap setelah mata bengkaknya (dan saya) menangis hampir 2 jam akibat pengakuan aborsi yang telah dia lakukan. Saya kangen dimaki kernet bis sepulang sekolah karena saya beri ongkos yang tersisa setengah demi komik Smurf yang saya idamkan. Saya kangen jatuh dari KRL karena terburu-buru lari keluar gerbong sebab bel masuk sekolah hampir berbunyi. Saya kangen nongkrong dan bernyanyi dengan kawan-kawan lelaki yang bergitaran di pos ronda

E-mail Dinihari

Nduk, Satu jam lalu aku menyentuh diri sendiri lagi. Dan yang aku bayangkan hanya titit dan wajahnya ketika klimaks. Aku kangen dia, Nduk. Sangat. Aku rindu penyatuan dua jiwa kami, dimana memberi adalah anugrah. Tapi aku tau dia bukan untukku dan perasaan ingin kembali adalah salah. Aku harus lepaskan dia demi tanggungjawab yang menyertaiku. Kamu tau dimana dokter yang katamu bisa mutilasi otak untuk mengenyahkan ingatan tentang aku dan dia? Aku putus asa, Nduk... Nice. udah hampir dinihari dan dapet imel macem ini. Bingung. Pasti nggak bakal masuk kalo gwa ngomong konsep-konsep feminis saat dia lagi dalam kondisi ini, lha wong dia amat sangat super feminis koq. Nggak mungkin gwa ngingetin dia untuk selalu kaffah bersetia dengan dildo, lha wong dia punya tiga, warna-warni, beda-beda bentuk dan ukuran. Nggak akan kena kalo gwa retelling cerita-cerita yang pernah gwa baca tentang gimana bangsatnya laki-laki dalam novel-novel Fay Weldon. Koleksi bukunya lebih banyak dan lebih keren dan d

Wadul

Jika bisa, saya ingin menukar kepala, leher dan tengkuk dengan sesuatu yang mati rasa. Sungguh, saya nggak ingkar. Saya berterimakasih atas sakit, tegang dan pekak yang datang beberapa kali dalam seminggu tiap bulan. Karena dengan ini maka saya akan menikmati bagaimana ringannya berpikir tanpa derita. In memoriam: satu lagi sel telur yang meluruh bersama dinding rahim, saat ini dan nanti. Dan nanti. Terbuang sia-sia karena nggak bisa digoreng untuk lauk sarapan.

Semacam Carpe Diem

Malam ini melankoli sekali. Setelah seharian bekerja tanpa peluh dalam ruang berudara dingin bikinan pabrik; diseling tawa dalam kata bersama teman-teman tak kasat mata; mengurai masalah kusut dan berujung pada solusi perlawanan; berbagi senyum dan sebongkah surga dengan malaikat putih tak bersayap; menyesap bergelas-gelas minuman panas demi mendinginkan perut dan kepala; mendengar dan mengusahakan senoktah kecil empati pada jiwa tanpa daya (atau tak mau berdaya, entah yang mana)... Semua berlabuh pada dinihari ini, teriring suara pria berkacamata gelap yang lirih melagu hidup dalam analogi layang-layang. Rasanya saya lelah sekali. Namun kelelahan ini membuat saya penuh seluruh. Selaksa alam raya yang terpapar di depan mata, pada detik, pada menit, pada waktu yang terlewat, mengisi tiap ceruk tiap lekuk. Memenuhinya hingga ke titik luber. Menanti semuanya lalu reda, melindap, kemudian menyarikan residu guna disantap hati adalah kesabaran yang harus dikuasai. Dan saya hampir sampai kesa

Don't Wanna Be A Kite

KITE - U2 Something is about to give I can feel it coming I think I know what it is I'm not afraid to die I'm not afraid to live And when I'm flat on my back I hope to feel like I did And hardness, it sets in You need some protection The thinner the skin I want you to know That you don't need me anymore I want you to know You don't need anyone Or anything at all Who's to say where the wind will take you? Who's to say what it is will break you? I don't know, which way the wind will blow Who's to know when the time has come around? Don't want to see you cry I know that this is not goodbye It's summer, I can taste the salt of the sea There's a kite blowing out of control on the breeze I wonder what's gonna happen to you You wonder what has happened to me... I'm a man, I'm not a child... A man who sees The shadow behind your eyes Who's to say where the wind will take you? Who's to say what it is will break you? I don't

AAUP (Another Awkwardly Untitled Post)

Are you justified in taking life to save life? - 'Dream Theater, The Great Debate' from Six Degrees of Inner Turbulence album Lost in a movie again. There I was, sat in front of my computer, staring blankly on the screen, amidst my obligation to finish up my toy called Monthly Report. In the attempt of building up my mood I watched Munich instead. I knew from the first that this movie will linger in my mind for some times, yet, I couldn't bear the temptation to borrow it from a friend when I saw it laid on his shelf two weeks ago. And yes, indeed it lingered. Perhaps this is my 'Spielberg Week' since I've been watching his works for two days in a row. Both stories bore resemblance theme: for the life and a place called home. In the colorful, gloriously CGI-ed, and heroic Transformer I watched yesterday I knew how it felt like to fight for a piece of solid ground under one's feet in this strangely identified occurrence called the universe and vaguely concep