Frenemies

Okay. I'm changing. Haha. Big news. To something good? Can't tell yet.

But one thing for sure: entah kenapa trauma itu masih belum hilang, meski lumayan terkikis sedikit demi sedikit. Hey. Ini bukan barang baru. Mungkin memang saya yang sudah lelah atau alam hanya memberi apa yang saya perlukan. Atau keduanya bersinergi dan jadilah...

Dia.
Manusia tanpa wajah tanpa wujud dan hanya saya temui dalam teks-teks panjang nan responsif yang saya sambangi hampir tiap hari (dan malam) dalam sebulan terakhir. Saya nggak tau kutukan apa yang menarik dia ke saya. Yang saya tau hanya bahwa dia membeberkan apa yang selama ini saya takuti: keluar dari gua hibernasi saya (yang baru-baru ini juga berani saya ungkap, thanks to him) dan menghadapi terang dan hangatnya matahari musim semi.

Saya benci dia. Saya benci kelancangannya membuka katup penahan derasnya lelehan otak saya yang berkarat dan membuncah keluar. Saya benci kesongongannya masuk ke dalam waktu-waktu tenggat saya--yang tidak bisa saya kerjakan tanpa ada 'dopping'--dan ada disana ketika beban mental dan beban pekerjaan bertingkah meminta perhatian. Saya benci kepatuhannya untuk menghilang ketika saya berteriak 'Pergi!' dan merasa kosong setelah dia tiada. Saya benci kesabarannya mencari dan mengirimkan apa yang saya suka. Saya benci kebaikannya yang selalu berusaha membantu semua masalah saya--termasuk formula excel yang amburadul akibat ulah saya sendiri. Saya benci karena dia selalu punya waktu untuk saya.

Tapi dia teman saya terbaik saat ini.
Karena ketika saya lungkrah, kata-katanya datang seperti mijiti. Ketika pandangan mata saya kabur, dia ada untuk menuntun saya. Ketika saya salah, dia berani mengatakannya--dengan eyel-eyelan panjang sekalipun. Ketika saya bego, dia nggak pernah mentertawakan saya. Ketika saya takut, dia memberi alasan-alasan untuk tidak takut. Dan semua terjadi hanya dalam sebulan.

Saya sungguh nggak tau apa tujuannya; malaikat yang tidak sombong dan baik budi bahasa (karena dia tidak suka misuh tapi nrimo dipisuhi) kok ya mau-maunya bergaul dengan saya, iblis laknat nan bitchy dan nggak punya tata krama yang selalu kembali ke neraka ketika melepaskan diri dari alam semesta cyber. Di pikiran saya yang kartun tapi gelap, dia adalah Lucifer insap yang lelah hidup ribuan tahun dan mencoba mendapatkan namanya kembali dengan cara menebus semua kebejatan dan bersedia jadi provider untuk orang-orang yang memerlukan. Well, if you live that long, there's nothing you haven't been through. One scar (or a psycho girl in this case) won't even hurt you. Maka jadilah.

Saya nggak tau apakah Tuhan berkata Kun Fayakun ketika mencipta skenario ini. But let there be, Sweet Lord. Let there be. I kinda like it.


ps: I miss you, Han. Namun saya terlalu sombong dan takut bertemu Kamu. Saya khawatir Kamu menolak karena saya nggak cukup bersih ketika menghadap. Tapi terima kasih karena mengirimkan utusanMu untuk mengingatkan bahwa Kamu masih peduli sama saya... (=

pps: Maaf, saya kurang tanggap bahwa selama ini saya dikelilingi malaikat-malaikat tanpa sayap. Bahkan saya baru sadar ada malaikat yang satu ruangan dengan saya, yang hampir tiap sore menyuapkan sebongkah surga dalam bentuk roti isi coklat atau keju. Saya juga berterimakasih untuk itu, Han.

*Frenemies adalah salah satu judul episode Sex and the City season 3 yang saya tonton marathon beberapa hari lalu. Arti sesungguhnya adalah teman (friend) yang berbalik jadi musuh (enemy) dan backstabbing. Buat saya, dia adalah musuh yang berbalik jadi teman dan menyediakan diri di backstab. Gila kan?! Hare gene getoloh!!!

Btw, kamu tau siapa kamu.

Comments

  1. Anonymous5:35 PM

    beuh!! menye2 tapi indah ;)

    ReplyDelete
  2. Simbok V(agina? =P):
    halah! pa pulak tu menye2 tapi indah?!

    *garugarug*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?