Ngomel Sendiri

Malam itu kami santai, menikmati obrolan satu sama lain tanpa terbebani pekerjaan dan tenggat. Peristiwa langka. Ditengah keterbatasan waktu yang tadinya sering bikin pembahasan terpadatkan. Tapi tidak sekarang.

Sambil gwa surfing-surfing ke site backpack keren, dia cerita-cerita tentang kegiatan-kegiatannya yang superpadat, teman-temannya, anak-anaknya (3 binatang lucu berusia 3 bulanan), sementara gwa menyeling dengan presentasi buku yang gwa baca dan belum juga selesai--karena cuma bisa menikmatinya disambi e'ek.

Tiba-tiba browser gwa kepentok sama salah satu model backpack yg superduperkeren, tapi amboiiii... harganya!!! Lalu alamat website itu gwa kupipes (copy and paste, diterjemahkan dalam bahasa sekenanya) ke window ngobrolnya.

"Maz, maz, asik nih. What do you think?"
Beberapa detik kemudian baris jawaban terbentuk di bawahnya:
"Keren... keren..."
"Bikinan Jerman, tuh. Gwa naksir abis waktu temen kos gwa dulu dibeliin kakaknya yang lagi kuliah disana. Awet banget. Sampe sekarang warnanya masih bagus, padahal sering banget dibawa kemping."
"Wah... Berarti theses gwa bener ya! Hahaha!!!"

... dan dari situlah awal mula diskusi kami tentang 'trans-migration of taste', yaitu mengenai selera yang lompat pagar berbasis teori akan kondisi materi seseorang. Dia anggap gwa (mungkin) sebagai golongan urban yang silau dengan label gede dan selera pemilihan barang yang gwa konsumsi akan sangat berbeda dengan Si Ujang yang tinggal di pelosok Sukabumi sana. Tapi gwa bersikukuh kalo 'taste' gwa murni berdasar fungsi dan nilai estetis tanpa membiarkan diri tertindas hegemoni merek (meski gwa mempercayai urusan alas kaki ke Nike & Converse, sementara penyangga kelenjar susu gwa pasrahkan pada Triumph & Wacoal).

"Makanya, Pit. Coba deh lo bikin label sendiri dan pasarin ke temen-temen kantor. Toh-tohan, pasti jalan. Lo kan bisa pake ironi-ironi lo yang sarkas abis itu, which is where you're good at."
"Kenapa? Buat apa?" tanya gwa dengan begonya.
"Ya buat ngelawan label-label gede itu. Urusan desain kan lo bisa gabung ama temen-temen disini. Modalnya juga ga gede-gede amat."

Menarik. Tapi yang paling menarik dari itu adalah keyword-nya: melawan. Karena seumur idup, itulah yang gwa lakukan. Melawan bayangan-bayangan sekitar.

Perlawanan paling dini adalah proses mbrojolnya gwa yang lebih cepat 2 hari dari perayaan tujuh bulan kehamilan. Setelah pertarungan hidup-mati Sang Bunda selama 12 jam (and how I tirelessly grateful for it, Mbok), gwa langsung masuk inkubator seminggu. Untuk kemudian disambung dengan makan pisang yang dikerok halus-halus sebagai makanan pertama yang masuk perut gwa karena air susu amat sangat langka saat itu.

Masa Sekolah Dasar gwa harus berjuang sebagai anak paling muda dengan bodi paling bongsor yang gagap ketika temen-temen gwa sudah fasih menggurat huruf dan angka di atas kertas dengan lancarnya. Meninggalkan gwa yang dulunya lebih seneng main bebas tanpa terjadwal masuk TK. Perbendaharaan lagu anak-anak yang diajarin Ibu emang ga abis-abis, tapi gwa lebih sering dan seneng denger ABBA, Beatles, Queen, Rolling Stones dan Iwan Fals diputar di tape daripada kaset-kaset Pak Kasur dan Ibu Sud. Jadi, jangan salahkan gwa kalo gwa bawain Dancing Queen waktu disuruh nyanyi depan kelas--dengan lafal acak-adul.

SMP, I got my first crush (Hi, Gi! You are HERE! Haha!). Then again, gwa harus menebalkan hati untuk gak berdarah terlalu banyak karena penyangkalannya--indirectly-- terhadap eksistensi gwa yang cuma bisa dia nilai dengan kondisi gwa yang terberi tanpa bisa gwa ubah.

Waktu SMA gwa jadi anggota bayangan kelompok-kelompok ngetop yang 'ngartis' dan bisa keluar-masuk seenaknya. Tapi sikap free-agent gwa yang sering nemplok kemanapun macem laler bikin mereka jengah karena ga bisa mengakuisisi gwa secara penuh. C'mon! Untuk bisa diterima, gwa ga harus menyerahkan jiwa ke kalian, kan? Gwa ga mau cari-cari duit tambahan--apalagi minta ortu--hanya untuk nongkrong di mekdi hampir tiap pulang sekolah (sementara bayaran aja gwa sering nunggak).

Dan perlawanan gwa berujung pada rokok yang gwa puja dan caci sekaligus. Benda langsing lurus itulah yang gwa gunakan sebagai alat dalam memperkenalkan area abu-abu bagi orang-orang terdekat. I'm still the same good 'ol Pit you use to know, though she's holding a cigarette between her lefthand index and mid fingers and puffing to her heart's content... and got a hell of learning from doing it.
Perjuangan belum selesai...

Hey, it's a dog-eat-dog in the place we live in and I don't wanna be a cannibal. I just wanna be a human.


ps: tau gag? mekdi bahkan ga punya site endonesa!!! kasian ye orang sinih. ga diakuin. haha!

Comments

  1. [Tapi gwa bersikukuh kalo 'taste' gwa murni berdasar fungsi dan nilai estetis tanpa membiarkan diri tertindas hegemoni merek (meski gwa mempercayai urusan alas kaki ke Nike & Converse, sementara penyangga kelenjar susu gwa pasrahkan pada Triumph & Wacoal)]

    Berdasar fungsi dan nilai estetis dan bukan merk ya? Hmmm.... Menurutku: merk yang bisa menghegemoni justru biasanya berdiri di atas sejumlah klaim, salah satunya fungsi (kekuatan, daya tahan, dll) dan juga klaim estetik (bentuk yang bagus, berselera dan selalu diperbaharui). Gak mungkin satu merk bs menghegemoni tanpa klaim2 itu.

    So? Dg senang hati saya mendengar lagi kisahmu.

    ReplyDelete
  2. PaMei:

    matur nuwun...
    *bows*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?