Bangun, Sayang...

Tentang harapan yang terhempas, kandas, dan masuk ke dalam lubang tanpa dasar. Tentang resolusi instan yang amat sangat didamba. Tentang seseorang yang bisa menerima diri apa adanya. Dan semua layaknya halimun pagi yang terusir malu ketika mentari datang.

Pertanyaan salah-benar jadi hilang makna sekarang. Sudahlah. Lahir sendiri, mati nanti pun sendiri. Jadi, mengapa tidak berjalan saja sendiri? Dalam kerumunan orang banyak sekalipun. Bukan masalah besar. Semua orang melakukannya. Beberapa terpaksa, yang lain karena pilihan.

Ini bukan kepengecutan dengan muka tunduk dan bendera putih melambai-lambai di atas kepala. Sama sekali bukan! Kutulis dengan wajah sekeras batu, sedikit gemeretuk gigi yang beradu gemas, dan semangat yang terbebat perban disana-sini karena beberapa kali patah. Tapi (kuharap) tetap mampu menahan hantaman hujan badai sekalipun, karena bekas lukanya menghasilkan baja yang menyatu dalam daging, mengalir bersama darah, menuju jantung, kemudian kembali beredar ke seluruh tubuh.

Karena aku bukan penakut! Silahkan kau ludahi. Boleh kau remukkan, injak, atau cincang sekalian. Tapi jangan harap aku tunduk. As long as I stand tall and proud on the solid ground under my feet, I cry only one word: RESIST!

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?