Posts

Showing posts from July, 2005

Dia yang Tak Terjangkau [Babiq la!]

Milik perempuan lain itu duduk di hadapan, dengan semua keangkuhan dan keprofesionalannya. Gwa gak sangka bakal dihadapkan dengan dia. Waktu itu yang ada hanya kaget dan kagum. Titik. I'm a woman who knows my own interest dan gwa memutuskan untuk suka, cinta, memuja, jatuh (tanpa harus menghamba) pada lelaki. Sama dengan sebagian besar manusia penghuni bumi ini, kesan yang pertama kali gwa lihat adalah muka, kemudian bodi, kemudian fitur-fitur tertentu yang ada--belahan di dagu, celah di pipi yang terbuat oleh tawa, tahi lalat, apapunlah. Dan gwa cuma bisa berteriak 'Anjing!' dalam hati ketika mobilnya berhenti hampir tiap malam di depan warnet yang gwa tongkrongin: nganterin pacarnya. Setelah interview yang lumayan singkat dan padat itu gwa (sedikit) tau gimana-gimananya lelaki, yang milik perempuan lain, itu. Sistematis, taktis, terkendali. Mungin jabatannya sebagai Head Manager di sebuah perusahaan exportir kerajinan mengharuskan dia bersinggungan dengan bule-bule bawel

Aku Berharta, Maka Aku Berkuasa

Untuk apa sih punya rumah sampe puluhan biji yang tersebar di seluruh Indonesia? Padahal satu pun jarang ditinggalin saking sibuknya. Ngapain punya mobil mewah berderet di garasi? Toh kalo mau make ga mungkin itu mobil dikeluarin semua. Buat apa beli baju harga jutaan? Fungsinya sama: nutupin yang seharusnya tertutup. Uang banyak di rekening bank? Jelas untuk menuhin kebutuhan dan kesenangan hidup. Tapi kalo tetangganya sendiri kelaperan? Atau punya sodara yang lagi bingung karena ga bisa biayain sekolah anaknya? Tergantung sih, kalo yang punya harta berlimpah itu tega-tega aja gak masalah kayaknya. Gwa baca buku disana ada disinggung teori right-by-might : yang punya harta merasa berkuasa. Kekuasaan bikin orang bisa berbuat sesukanya. Thus, bisa merintah-merintah sakkepenake. Dan itu amat sangat diinginkan oleh hampir sebagian besar manusia. Merasa punya kuasa. Sama halnya dengan Yang Paling Mulia Sedunia dan Akhirat; bapak kos. Tadinya gwa boleh bangga atas hak istimewa untuk pergi

To The Fullest and Nothing More

How much do you feel grateful for the joyful life you've been blessed with? How do you use it, meaningless or meaningful? How big is your appreciation towards people around? Do you smile or looking down, rushing, watching the pavement with unusually great interest to where your steps at when you walk? Or do you walk with your chin up or with your eyes dancing here and there just to say hello with a sheer twitch of the liplines to every soul you've passed? I've seen handicapped men and women walking, or rolling on their wheechair, limping with their crutches, or simply just living with the greatest spirit a human being could achieve. They decide to never give up on the ill-fated condition that people see as a burden: to become unfortunate ones. Anyway, from which point of view does this 'unfortunate' lay? I've known her for two years. We had shared the house together, along with the other 19 girls. She had a voluptuous body with round-firm breasts, small waist an

Dear Mr. President

Negara mana sih yang bisa nandingin kerennya Amerika? Asal-muasalnya MTV , tempatnya Hollywood dengan aktor dan aktrisnya yang super-duper cakep dan berbodi keren, yang mata uangnya masih jadi patokan perekonomian dunia, pusat penyanyi seksi bagai mesin seks dengan wajah semurni malaikat... Dan pengatur dunia. Beberapa hari yang lalu waktu pulang pagi dan nyasar di televisi lokal ada VoA disana. Beritanya bikin gwa hampir keselek nasi kuning yang jadi sarapan waktu itu: Mr. President of USA merangkul 100 orang pelajar dari negara-negara muslim untuk ikut student exchange. Alasannya? Agar mereka gak memandang negatif mulu ke Amerika. Yang diwawancara (sebentar) ada 3 orang, satu cowok (Abdul Rahman, kalo gak salah) dan dua cewek (Fatma, Yaman, berjilbab dan cakep banget! Satunya kriwil, dari Yordan). Komentar mereka senada: teman sekolah dan guru disana sangat menghargai perbedaan keyakinan dan mempersilahkan mereka melakukan ritual ibadah pada waktunya. Terus gwa inget gimana heboh

Ah... pasangan jiwa. Dimana kamu? [Bwek!]

"Aku akan selalu menunggu tulang rusukku untuk kembali..." katanya. Puih! Tapi, ah... ga tega juga pengen puih-puih. Dia cowok super-romantis yang pernah gwa kenal. Walaupun hanya ketemu di dunia maya tapi dia sangat terbuka mengenai luka yang ditinggalkan seorang gadis yang menggores dalam di hatinya. Bukan salah mereka, tapi keadaan yang bikin ruwet. Seperti Yesus menanggung semua dosa turunan, mungkin itu penggambaran konkrit untuk dua orang ini. Terserah dia sih. Mau nunggu ampe bertaun-taun pun gwa ga perduli. Itu pilihannya. Tapi... melankolis 'tulang rusuk' ini yang ga masuk akal buat gwa. Oke, Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk lelaki yang bengkok, kata Qur'an. Karena itu, tugas lelaki-lah untuk bikin perempuan itu jadi 'lurus'. Dalam artian, membimbing ke jalan yang benar. Itu gwa percaya. Tapi kemudian didramatisir jadi--yang menurut gwa--gojek kere. Contoh: (Ketemu temen gak sengaja di mall, yang udah seabad gak jumpa) A : Gila lu ya

Silver Lining of the Cloud

I was writing this to shout at him, to let him know that I was tired of seeing him down, so low he pressed his head to the ground. I've been working my ass off just to have some understanding from this dark creature only because I cared so much of him. He'd done many times better for me in this spec. So, why can't I? Life is a waste if you can't live it to the fullest: in love, learn and achievement. He had his love, allright (though maybe it's not the kind of love that he had in mind) and he didn't bother much about it. He had--perhaps--had his way on achieving something. But learn? You can't stop right there to the spot in learning. It never ends. I knew that he had learned all the things he needed, technically of speaking, but it's never enough. Because life goes on and on and on and never stop till you die, which is when is a mystery. He had his family, friends and community and they had some hopes--or should I say demands?--especially his closest

Dear Mom and Dad...

Seberapa ketat pergelangan tangan lo terpasung? Seberapa parah penderitaan lo tanggung? Seberapa perih luka batin lo derita? Seberapa busuk bohong yang lo tutupi? Tapi apa pernah lo mikir kalo Babe-Enyak lo dengan suka rela dipasung dengan senyum di wajah dalam ikatan yang namanya perkawinan dan keluarga dan keharusan menafkahi sampe babak belur? Apa pernah lo dikasih tau derita Ibu-Bapak lo waktu mereka mencoba mengangkat muka ketika keluar dari pusat rehabilitasi narkotika yang berusaha nyembuhin lo? Apa lo berani bandingin luka batin lo dengan Mama-Papa lo waktu lo maki mereka karena ga ngerti kebebasan itu perlu buat anak muda seperti elu itu? Apa busuknya bohong Bunda yang berani ngutang demi uang sekolah lo itu lebih busuk daripada bohong lo yang ngembat duit bayaran? Gwa bukan orangtua, dan semua itu cuma contoh ekstrim yang terlintas di kepala. Tapi gwa mencoba berada di posisi mereka walau Ibu-Babab gwa sendiri gak sempurna. Yang gwa tau, mereka berusaha keras. Dengan anak
Gwa percaya manusia baru bisa dibilang manusia kalo dia megang prinsip yang dibentuk dari berbagai sumber. Bisa dari pengalaman sehari-hari, ajaran agama, keyakinan yang dia anut, bacaan, pendidikan, kesadaran mental, de el el lah. Semuanya itu bikin satu pondasi kokoh yang jadi pijakan dan acuan dalam bertindak dan menyikapi peristiwa yang ada di sekeliling. Perlu proses, dan bukan hal yang bisa didapat secara instan. Wah, kalo udah sampe sini gwa kok ngerasanya prinsip itu sama dengan idealisme ya? Seorang teman menemukan kesadaran baru ketika dia belajar Yoga . Banyak yang berubah dari dia sejak terakhir gwa ketemu. Jadi lebih sabar, tenang, gak gampang misuh, dan semua adalah perubahan baik. Dia bilang ada tata cara melatih nurani untuk ngambil keputusan yang benar. Dan pengambilan keputusan melalui cara ini adalah tingkat tertinggi dari pertimbangan akal. Dengan kata lain: mengalahkan apa yang dinamakan rasio sekalipun! Saat kenyataan dan idealisme berbenturan, sikap praktis diper

(Kinda) Trapped in Her Solitary Shell

Pernah ngerasa kesepian? Kalo gwa sih hampir selalu. Tapi karena ndablek, ga mau ngakuin--apalagi kalo ada orang-orang sok perhatian dalam radius 10 meter--jadinya gwa berusaha nikmatin aja. Tapi kadang gwa sangat perlu keberadaan orang-orang di sekeliling, terutama teman. Mungkin karena sering bisa melakukan apa-apa sendiri dan menyendiri, gwa sering banget ditinggal. Awalnya karena gwa sering males diajak jalan. Surga gwa di kamar, baca buku yang entah berapa kali gwa baca. Atau tidur. Gwa susah banget tidur. Yang paling ekstrim gwa sering sehari tidur cuma sejam. Tapi kalo lagi ga ada kerjaan, gwa bisa ngebo. 10 jam! Gwa ngerasa salah aja ama badan gwa sendiri karena gak mengistirahatkannya dengan cukup. Makanya kalo gwa mbathang sebenarnya didasari dengan semangat mbayar utang! Sebelnya, kalo giliran gwa pengen jalan dan temen gwa ngira males gwa kambuh. Dan mereka udah bikin planning beberapa saat sebelumnya. Bukan salah mereka, sih. Tapi gwa ngerasa left out. Apalagi kalo mereka

Man, With or Without: Either Way You Can Continue Living

There we were, three average girls, having a good time in Saturday night before an idiot box called 'television' and scraping a one-litre pack of ice cream. The show was great, but what we've been scraping around was way more fascinating. Another time, another moment. But good friends remained the same. It was a damned cold night, but the ice-cream made us warm. Or perhaps the subject we've been rambling about heightened the heat kept by the walls. Either way, we were comfortable enough. Berhubung malem Minggu, kita ngomongin lelaki-lelaki yang pernah singgah di hati. Si Mbak yang baru datang jam 3.30 sore tadi ngaku kalo hubungannya selama hampir dua tahun dengan seseorang itu nggak sehat. Dia selalu jadi pihak yang kalah, inferior, (terpaksa) nrimo. Lelakinya selalu 'bersabda', gak mau didebat. Jika si Mbak udah hampir ilang sabar dan minta putus, lelakinya terus jadi manis kayak anak kucing dan tatapannya selalu bikin luluh. Dan gwa selalu nendang anak kucin

Lucky Him, He Died Young

Kemaren malem janji nya terpenuhi: nonton Gie ! Gwa yang janji dateng jam 7.30 terpaksa molor setengah jam karena ada temen berkunjung. Untung aja pas sampe bioskop belum terlambat. Yah... namanya aja bioskop ecek-ecek. Katanya jam 8, nyampe sana jam 8 lewat juga blum mulai. "Udah pada masuk, tapi pilemnya belum diputer," jawab mbak-mbak penjaga loket. Untung gak ketinggalan seuprit pun! Jujur aja, gwa baru kali ini menginjakkan kaki di bioskop Jokja yang tanpa embel-embel '21'. Dibayarin lagi! Sebenernya sih lebih enak nonton di komputer temen. Bisa tiduran, ngemil, ngerokok, bikin kopi =P Waktu itu parkiran penuh, tapi isinya lebih banyak yang parkir untuk makan bebek goreng (apa ayam ya? Gwa lupa) daripada nonton. Karena gwa masuk ketika orang-orang udah pada duduk, gwa ga begitu tau barengan-barengan gwa saat itu gimana bentuk dan rupanya. Ruangannya lumayan, terkesan jadul banget tapi nggak mengecewakan. ACnya dingin pisan! Untung aja gwa pakek celana training d

Pay Respect!

Penting gak sih nikah itu? Ya. Asal bukan pernikahan gwa karena gwa bahkan gak kepikiran sama sekali. Tapi menikah adalah satu level, siklus dan hal baru yang mengubah total kehidupan. Revolusi menuju evolusi bersama: menjadi individu baru yang (diharapkan) tumbuh dan berkembang menuju yang lebih baik. Temen se-kos gwa menikah jam 8.30 nanti, sementara gwa, dua setengah jam sebelum perubahan status itu, masih ada disini. Belum tidur dan males pulang. Ga ada niat dateng walaupun dia temen yang lumayan baik sekalipun. Alasannya mungkin sepele: respek. Not mine to her, but vice-versa. Seminggu menjelang hari-H dia baru kasih tau gwa--itupun karena ada 'kecelakaan' sebelumnya--dengan embel-embel, "Sttt... jangan kasih tau yang lain ya. Aku gak mau heboh dulu." Dan semua berjalan seperti apa adanya dengan mobilitas tinggi dari mulai bikin izin nikah, cari kontrakan, cari hotel buat keluarganya, dan lain-lain. Yang dikeluhkannya beberapa jam setelah dia ngaku. Jam 9 malam t

Touche!

Me : Ini Pak, uang listrik 3 bulan jadi 30,000 ya. (Hanya untuk 'kandang' berisi buku, majalah dan lampu neon 50 watt sebagai hiburan, duit segitu sama sekali bukan milik dia. 1,2 juta per tahun cukup untuk nutup biaya listrik gwa yang ala-kadarnya dengan fasilitas rumah yang gak pernah diperhatikan. Apalagi gwa orang yang amat sangat peduli listrik dan air. Huh! Dasar, kapitalis kecil!) Bapak Kos (BK): (Sambil cengar-cengir kesenengan menggenggam duit yang berpindah tangan) Makasih ya... Kamu sampe Juli kan? Mau nerusin disini lagi apa nggak? Me : Kayaknya sih nggak, Pak. Mau pindah aja, cari yang murah. Tapi masih nunggu temen dulu, biar bareng. Pak Maman (PM) : Oh, pindahnya sama yang tadi siang itu ya? (note: PM ini adalah tetangga/tukang sampah/kuli serabutan yang bantu-bantu benerin kos-kosan yang emang udah bobrok luar biasa milik bapak berusia 70-something, beristri dua dan amat sangat kolot. Beliau ini kebetulan ada disana karena [mungkin] sedang diberi petuah oleh 

There's always a first time for everything...

When there is an important meeting to attend on a rainy day that will probably change your whole damned life, the hardest part is putting your first step outside your door and crazily running away from the hail. It's all just the same here. When I desperately want to have an interceptor for the rusting, tangled thought that had been kept too long and driving me nuts, there was a familiar sensation of refusal to act and made one. I'm not a computer freak, I'm not getting a good relationship with machine--but men are my worst case--and I don't think I could sit and spit them out just like that. But, hey, who knows? Maybe it will turn out to be a good shelter for keeping the rain out and let my sunshine inside. Behold! I'm coming! [To Maz Tombro and Nunuz... Motivator ga sengaja]